Anzowet.com - Sebuah pesawat CN 235 Maritime Patrol (MPA) pesanan TNI
Angkatan Laut terparkir di hanggar PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Berkelir
hijau, pesawat itu baru saja lulus uji coba terbang selama satu jam di langit
Jawa Barat awal April 2013 lalu.
Para teknisi PTDI berkerubung di pesawat seharga US21,5 juta
per buahnya itu. Burung besi produksi PTDI bekerjasama Airbus Military itu
hendak diperkuat dengan radar pengintai lautan, dan kamera beresolusi tinggi.
“Radar itu dapat melihat hingga 200 meter di bawah permukaan
laut,”
Di belakang CN 235 MPA, tampak antri dua pesawat
lainnya. Semua menunggu kelihaian tangan
para teknisi. PTDI memang saat ini tengah kebanjiran berbagai pesanan pesawat,
khususnya CN 235. Pada 2012, PTDI berhasil membuat empat unit CN 235, dua unit
NC 212, dua unit Super Puma, satu unit CN 195 dan 12 unit Bell 412.
Setelah terpuruk dihajar badai krisis moneter 1997, perusahaan itu kini mencoba bangkit. Hanggar
yang dulu sempat sepi, kini ramai dengan beragam pekerjaan. Order mengalir, dan rezeki pun tumpah.
Setelah merugi sembilan tahun, baru pada 2012 perusahaan menangguk laba.
Terakhir, rapor keuangannya biru pada 2002, dengan laba
bersih Rp11,26 miliar. Setelah itu, kantong PTDI pun kempis. Hutangnya seawan, dan nyaris kolaps. Sekitar
16 ribu karyawan dipecat, dan hanya
tersisa 4.000. Para insinyur
terbaik pun hengkang ke berbagai pabrik pesawat dunia.
Lebih tragis lagi, perusahaan perakit pesawat itu sampai
terpaksa membuat panci agar bisa bertahan hidup. “Sepanjang 2003 hingga 2007
PTDI ini tak pernah tutup buku. Sehingga kami harus mulai tutup buku
2003-2007,” kenang Direktur Utama PTDI, Budi Santoso.
Budi bukanlah orang baru di PTDI. Ia bergabung sejak 1987,
saat masih bernama IPTN. Pada 1998 lalu, ia pindah menjadi Direktur Utama PT
Pindad, dan berhasil. Pada 2007 lalu, doktor ilmu robotika dari Katholieke
Universiteit Leuven, Belgia, ini diminta pemerintah membenahi PTDI.
Saat ia baru memimpin, Budi dicegat oleh banyak persoalan.
Ribuan bekas karyawan berdemonstrasi menuntut pesangon. Dan soal itu terus
menguras energinya. Ditambah beban hutang, khususnya hutang kepada pemerintah
yang mencapai Rp3,8 triliun. Kas
keuangan PTDI kandas saat itu.
Dia lalu membereskannya tahap demi tahap. Pada 2009, semua
urusan masa lalu itu kelar. Setelah diaudit BPK, instansi pajak, dan berbagai
lembaga, utang ke pemerintah itu pun beres. “Kami minta utang kepada pemerintah
dikonversi menjadi modal. Duitnya sih tidak ada, hanya di atas kertas. Tapi ia
tidak menjadi beban keuangan PTDI,” katanya.
Tangan dingin Budi Santoso perlahan menuai hasil. Pada 2012
lalu, perusahaan membukukan laba bersih
sekitar Rp40 miliar, dengan pendapatan Rp2,68 triliun. Pendapatan terbesar
disumbang oleh pembuatan pesawat sebesar Rp2,3 triliun, manufaktur komponen
Rp236 miliar, jasa teknisi dan alutsista Rp65 miliar, dan dari perawatan
pesawat Rp104 miliar.
Tiga langkah
Beresnya utang masa lalu itu, kata Budi Santoso, menjadi
titik balik PTDI. Pada akhir 2011, mendapatkan kucuran dana Penyertaan Modal
Negara (PMN) sebesar Rp2,06 triliun. Direksi tidak menyia-nyiakan dana itu, dan
langsung memakainya untuk modernisasi mesin, hanggar dan sumber daya manusia.
Direktur Niaga dan Restrukturisasi, Budiman Saleh
menjelaskan PTDI telah mengalokasikan Rp270 miliar membeli berbagai mesin
produksi serta membenahi dan membangun hanggar baru senilai Rp140 miliar.
Nantinya, PTDI akan mempunyai dua hanggar perakitan pesawat.
Satu hanggar baru tersebut baru akan beroperasi pada
Semester I 2014, dan mampu merakit pesawat besar seperti CN 295. (Lihat Bagian
3: Agar di Langit Kita Jaya)
Tiga langkah restrukturisasi pun dilakukan. Pertama, pada fase darurat, selama
2011-2012, dibenahi kondisi internal. Kedua, adalah tahap stabilisasi pada
2012-2013. Pada fase ini perusahaan melakukan berbagai investasi dan
revitalisasi. Terakhir, diharapkan pada 2015 ke atas, PTDI diharapkan lepas
dari ketergantungan pada pemerintah.
“Saat ini kami sedang dalam tahap fase kedua. Kita lakukan
pencarian pendanaan untuk permodalan, pemetaan pasar dan persiapan produk baru
seperti N 219,” kata Budiman.
Saat ini, untuk bergerak perusahaan memang tergantung pada
rezeki dari pemerintah. Misalnya, PTDI meraup kontrak hingga Rp7 triliun hingga
tiga tahun mendatang, sebagian besar dari Kementerian Pertahanan. Tapi setelah
itu, PTDI diminta untuk mandiri.
“Kami perlu hidup. Bisnis pesawat terbang bukan sesuatu yang
instan,” kata Budi Santoso.
Bantuan itu, kata Budi, penting. Ia seperti efek bola salju.
Konsumen melihat perusahaan mulai bangkit, dan tanpa diundang, mereka datang ke
pabrik dan melakukan kerjasama. “Lima tahun lalu, saat saya pertama kali
menjadi Direktur Utama, hal ini tidak pernah saya bayangkan,” katanya.
Menggandeng Airbus
Salah satu kunci keberhasilan PTDI adalah belajar dari kesalahan
masa lalu. Sewaktu masih bernama IPTN, perusahaan ini “jor-joran” mengembangkan
berbagai macam pernik pesawat walaupun tidak ekonomis. Insinyur mereka waktu itu sangat menguasai
teknologi, tapi tidak mengerti ilmu marketing.
“Ternyata, mengerti teknologi saja tidak cukup. Bagian lain
adalah menguasai pasar, kami tidak pernah pelajari hal tersebut,” kata Budi.
Jalan lain mendongkrak kembali perusahaan yang “pingsan” sejak krisis 1997 lalu adalah
usaha menggandeng industri penerbangan
lain yang telah berkibar, yaitu Airbus dan Boeing. “Dua-duanya kami jajaki,”
ujar Budi.
Namun, yang terdekat adalah EADS, perusahaan yang termasuk
grupnya Airbus. Secara sejarah, PTDI lebih dekat, meskipun dulu mereka pernah
punya hubungan dengan Boeing.
Cara ini, kata Budi, lebih efektif. Soalnya, membuat pasar
baru membutuhkan waktu hingga puluhan tahun. PTDI tidak mungkin menanti selama
itu, bisa keburu mati. Cara PTDI mirip seperti yang dilakukan Lenovo dan IBM.
“Lenovo dahulu menggunakan merek IBM hingga orang-orang sadar IBM itu Lenovo.
Sekarang Lenovo tidak memakai nama IBM namun tetap laku,” katanya.
Cara ini mulai membuahkan hasil. PTDI kini menerapkan
standar administrasi hingga membuat pesawat, yang sesuai standar Airbus, baik
EADS Airbus dan Airbus Military, membantu dari teknik hingga non teknik. Per
tahun, PTDI mendapatkan kontrak Rp180-200 miliar. Dengan bekal inilah, PTDI
bertekad membuat pesawat asli Indonesia.
Selain dengan EADS, PTDI juga menjalin kerjasama dengan
Eurocopter Family yang juga dibawah EADS untuk membuat body helikopter MK II,
yaitu tailboom dan fuselage senilai Rp5 miliar. Selain itu PTDI juga menjadi
subkontrak CTRM dan Korean Air senilai Rp10 miliar.
Berbagai pesanan inilah yang membuat para karyawan PTDI
bergairah. Saat ini, pabrik PTDI berjalan dua shift. Pada shift malam mereka
akan mengejar produksi jika terjadi masalah di dua shift sebelumnya. Saking
penuhnya order, PTDI tidak berani mengambil pekerjaan lagi. Kapasitas produksi
perusahan itu sudah penuh.
“Maka, kalau ada yang bilang kami menganggur, itu salah.
Dengan modernisasi saat ini, PTDI 2-3 kali lebih produktif dari yang lama,”
katanya.
Jet tempur
Mesin-mesin buatan Jerman, Italia dan Taiwan terbaru sejak
2012 lalu telah hadir di pabrik PTDI. Mesin CNC (Computerized Numerical
Control), di antaranya Quaser MV 18C, Haas VF6-50, Haas VR 11 B Deckel Maho DMU
100 mB, dan mesin Gantry Jobs LINX30 serta Gantry Matec 30 P membuat semangat
baru bagi para teknisi. Urusan produksi menjadi lebih cepat.
Meski begitu, kapasitasnya belum setara dengan pabrik besar
seperti Airbus. Untuk membuat sebuah pesawat dari nol hingga bisa terbang PTDI
membutuhkan waktu 8-12 bulan. Sementara Airbus dan Boeing, rata-rata hanya
butuh dua pekan. Dengan mesin baru, waktu produksi diharapkan bisa diringkas
menjadi dua bulan.
Bermodal mesin itu pula, perusahaan yakin dapat meraup laba
lebih besar. Pada 2013 ini PTDI menargetkan pendapatan sebesar Rp3
triliun, dengan target laba bersih Rp60
miliar. Pada 2012 laba tercatat Rp40 miliar. Perusahaan kini mulai percaya
diri, misalnya meminjam dana ke Bank sebagai modal kerja.
Secara potensial, PTDI masih bisa mengembangkan CN-235
menjadi CN-234 Next Generation. CN-235
adalah proyek bersama antara PTDI dengan CASA. PTDI diberikan kebebasan oleh CASA
untuk memberikan berbagai inovasi pada CN-235. Salah satunya menambahkan wing
tips untuk menambah kestabilan pesawat.
Selain itu, C-212 versi improvement, harganya lebih murah,
dan kapasitasnya juga bertambah. “Kami juga menargetkan pusat perawatan PTDI
dapat merawat Airbus A320 di Indonesia,” ujar Budi.
Agar makin tokcer di masa depan, perusahaan itu akan
merekrut generasi muda. Penerimaan besar-besaran insinyur PTDI terjadi pada
1982-1986. Setelah itu, tidak ada lagi. Kini sekitar 45 persen sumber daya ahli
di perusahaan itu, khususnya para engineer, telah memasuki masa pensiun.
Kini, pegawai baru direkrut secara bertahap. “Yang pensiun,
akan kami pertahankan 1-2 orang sebagai pelatih engineer baru. Cara ini kami
gunakan mengatasi lost generation di PTDI,” kata Budiman.
Sebagai bahan latihan bagi para insinyur muda, PTDI
menyiapkan N 219. Pesawat berkapasitas 19 orang ini akan dijadikan model agar
para insiyur muda mengetahui satu siklus pembuatan pesawat.
Dari produk N 219 inilah, tenaga ahli muda itu dapat
mengembangkan beragam jenis pesawat. Bukan tak mungkin suatu saat mereka
menciptakan pesawat jet komersial seperti N2130 yang mati suri. Atau pesawat
tempur IF-X/K-FX, kolaborasi PTDI dengan Korea Selatan.
Proyek terakhir itu kini memang tidak jelas nasibnya. Sebab,
Korea Selatan memotong anggaran riset, serta pemerintah Turki mengundurkan diri
dari program itu.
semoga saja industri ini terus berjalan dengan lancar dan bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi insinyur insinyur muda berbakat indonesia yang lainnya dan para insinyur baru tidak melirik negara lain hanya untuk mendapatkan pekerjaan ...